TIMES KENDARI, JAKARTA – Ingatan itu tiba-tiba saja muncul. Kala itu, sesaat sebelum pemilihan rektor UIN Maliki Malang 2025-2029, yang akhirnya mengantarkan Prof Ilfi Nur Diana sebagai rektor perempuan pertama UIN Malang.
Ingatan kembali hadir saat berhadapan dengan mahasiswa jurusan sastra di kelas. Saat keluar GKB, terlintas kembali di pikiran, sebuah ruangan di salah satu gedung dengan nama-nama besar tokoh nasional. Ruangan tidak butuh besar.
Isinya? Beberapa mahasiswa saja. Dua tiga dosen cukup. Lalu sederet layar menyala.
Di situ, bukan hanya algoritma yang sedang bekerja. Tapi ada "ruh" yang sedang dilatih.
Itu hanya bayangan selintas, imajinasi saat jalan di antara gedung-gedung kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di Jl Gajayana Kota Malang itu. Di tempat di manasebuah langkah besar direncanakan.
Ya, sesuatu yang dunia artificial Intelligence (AI) saat ini belum punya: teknologi AI yang berdzikir.
AI yang Berdzikir
Selama ini kita mengenal AI sebagai mesin yang berpikir. Cepat. Tepat. Tapi dingin.
Ia bisa menulis ayat, tapi tak tahu makna Bismillah. Ia bisa membaca hadits, tapi tak paham mengapa Nabi tersenyum pada anak yatim.
AI seperti itu pintar, tapi kering. Canggih, namun kosong.
Karena itu, muncul pikiran bahwa UIN Malang penting memiliki itu. Lalu berani menempuh jalan dan mewujudkannya.
Bukan meniru Silicon Valley. Tapi membangun sesuatu yang lebih tinggi dari kecerdasan, yakni hikmah.
Namanya bisa Islamic AI Center (AAIC) UIN Malang. Atau apalah, bisa dipikirkan sambil jalan.
Tagline-nya sederhana tapi dahsyat. Misalnya, "The Rise of Islamic AI Civilization."
Saya melihatnya begini. Kalau Silicon Valley membangun mesin dengan otak, maka kampus Islam di Malang membangun mesin dengan hati.
Kalau di barat AI digunakan untuk efisiensi. Di sini, AI digunakan untuk keberkahan.
Kalau mereka menciptakan Artificial Intelligence (AI), maka kita menciptakan Augmented Ihsan (AI), sebuah AI yang mampu berdzikir, mengingatkan kita pada pencipta otak, bukan hanya pada logika di otak.
AI yang bukan sekadar tahu. Tapi sadar. Bukan sekadar bekerja. Tapi berniat. Bukan sekadar menghitung. Tapi menghormati.
Perang Digital ala Kampus Islam
Mungkin, inilah masa depan baru dunia Islam. Bukan perang. Bukan politik. Tapi peradaban digital yang berakhlak.
Saya membayangkan, kelak lewat tangan-tangan ahli AI kampus Islam lahir chatbot AI yang tidak sekadar menjawab, tapi juga menenangkan.
Ada search engine yang menolak menampilkan keburukan. Tapi yang menampilkan hasil yang ramah dan rahmah.
Kita sudah terlalu lama dikuasai logika. Kini saatnya AI memiliki rasa.
Bisakah dimulai? UIN Malang perlu memulainya dengan sederhana. Mereka meneliti AI for Qur’an, agar ayat bisa dibaca dengan pemahaman konteks.
Mereka mengembangkan AI for Da’wah. Agar pesan Islam bisa disampaikan lebih luas. Mereka juga merancang AI Ethics Framework, agar teknologi tetap patuh pada maqashid syariah.
Tapi di balik semua itu, ada satu cita-cita yang lebih dalam. AI Islamic Center itu berikhtiar menciptakan mesin yang tidak kehilangan Tuhan.
Itulah makna terdalam dari “AI yang berdzikir" dalam Islamic AI Center itu.
Menjadi Bayt al-Hikmah 2.0
Zaman sudah berubah. Ilmu pengetahuan bergerak seperti meteor. Namun Islam selalu punya cara untuk menyalakan cahayanya di kegelapan zaman.
Kalau dulu Baghdad punya Bayt al-Hikmah, rumah kebijaksanaan.
Maka hari ini, dari UIN Malang, penting kita membangun Bayt al-Hikmah 2.0.
Di sini, tempat kitab kuning bertemu machine learning. Tempat doa bertemu data. Tempat mahasiswa Islam menulis kode Python sambil melafalkan dzikir dan kalimah thayyibah.
Indah, bukan?
Kita sering lupa, Islam tidak pernah menolak ilmu. Yang ditolak hanyalah kesombongan. Ilmuwan besar Islam tidak pernah berpisah dari doa.
Ibnu Sina menulis logika sambil menundukkan kepala. Al-Khawarizmi menemukan algoritma sambil menundukkan ego.
Sekarang, mahasiswa mahasiswi Islam di Malang mencoba mengulang sejarah itu. Dengan bahasa baru: AI.
Kita rombak cara berpikir tentang teknologi AI. Jika yang lain; "Bagaimana AI bisa menggantikan manusia?” Tapi di sini; “Bagaimana AI bisa membantu manusia menjadi lebih manusia?”
Dan di situlah bedanya. AI yang lahir di tangan orang beriman tidak akan dingin. Ia akan punya getar. Getar doa. Getar tanggung jawab. Getar kasih sayang.
Inilah esensi dari teknologi AI yang berzikir. Teknologi yang mengingat asalnya. Yang sadar bahwa setiap data, setiap perintah, setiap hasil, semuanya berasal dari Tuhan.
Tentu, ini bukan konsep romantis. Ini visi peradaban.
Karena kecerdasan tanpa kesadaran adalah bahaya. Dan kesadaran tanpa kecerdasan adalah lumpuh. Dan, Islamic AI ingin menyatukan keduanya.
Mungkin, dunia belum siap mendengar gagasan seperti ini. Terlalu ideal. Terlalu spiritual.
Tapi dulu, siapa sangka algoritma yang kini menggerakkan dunia berasal dari kata Arab: al-khwarizmi? Jadi, mengapa tidak mungkin AI Islami lahir dari Malang?
Maka, suatu hari nanti, ketika dunia lelah dengan kecerdasan tanpa moral, mereka akan mencari cahaya dari Timur.
Dan mungkin, dari kampus Islam negeri dari kota kecil Malang ini, akan muncul jenis kecerdasan baru. Kecerdasan yang tidak hanya menghitung angka, tapi juga mengucap Subhanallah.
Karena pada akhirnya, kita tidak sedang menciptakan AI untuk menyaingi Tuhan. Namun, kita sedang menciptakan AI agar lebih sering mengingat-Nya.
Itulah masa depan yang saya bayangkan. Bukan AI yang berkuasa. Tapi AI yang berdzikir. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: AI yang Berdzikir
Pewarta | : Khoirul Anwar |
Editor | : Khoirul Anwar |