TIMES KENDARI, PADANG – Sejak awal tahun 2024 sampai saat ini, sudah banyak kejadian bencana yang terjadi. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBB), terhitung dari 1 Januari sampai 1 September 2024 tercatat ada 1.200 bencana alam di Indonesia.
Bencana alam yang paling banyak terjadi hingga awal ini yaitu banjir dengan 750 kejadian, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 210 kejadian, cuaca ekstrim 198 kejadian, tanah longsor 88 kejadian, kekeringan 32 kejadian, bencana gempa bumi 11 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 8 kejadian serta erupsi gunung api 3 kejadian.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam upaya pengurangan risiko bencana, peran pengetahuan lokal sangat penting. Pengetahuan lokal sebagai seperangkat pengetahuan yang ada dan diyakini masyarakat lokal dalam suatu jangka waktu tertentu melalui akumulasi pengalaman, relasi masyarakat dengan alam, praktik dan institusi masyarakat yang diteruskan antar generasi (Brokensha, et al., 1980; Sillitoe, 2000).
Pengetahuan lokal merupakan bagian dari kearifan lokal. Kearifan lokal adalah ide-ide yang muncul dari hasil olah pikir masyarakat lokal yang bersifat bijak, penuh kearifan dan bernilai baik. Kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Upaya pengurangan risiko bencana dalam bentuk kearifan lokal yaitu seperti rumah panggung dan pelestarian Repong Damar oleh masyarakat Lampung. Masyarakat Lampung membuat rumah panggung setinggi 2-3 meter agar bisa dilewati air pada saat banjir maupun tsunami.
Untuk mitigasi bencana longsor, masyarakat Lampung melestarikan pohon Repong Damar karena mempunyai akar yang kuat dan besar sehingga mampu menahan laju tanah apabila terjadi longsor.
Selain itu di Baduy, memiliki kearifan lokal yang disebut pikukuh karuhan yaitu sejumlah aturan atau ketentuan adat yang harus dilaksanakan masyarakat Baduy untuk mencegah terjadinya bencana alam. Adapun ketentuan pikukuh karuhan ini yaitu terkait pembuatan bangunan, larangan untuk mengubah jalan air, mengubah kontur tanah dan meratakan tanah untuk pemukiman.
Di Sumatera Barat, kearifan lokal dalam upaya pengurangan risiko bencana dapat dilihat dari petatah petitih yang berbunyi “usaha tabang sumbarang tabang (Jangan tebang sembarang tebang), jikok lai takuik datang galodo (Jika takut datang banjir bandang), urang kampuang sawah jo ladang nan taniayo (orang kampung sawah dan ladang yang akan teraniaya)”.
Maksud dari petatah petitih tersebut yaitu menjelaskan tentang musibah yang terjadi akibat perusakan alam seperti penebangan pohon sembarangan yang bisa menyebabkan banjir bandang (galodo).
Dari beberapa pengetahuan lokal masyarakat tersebut, dapat diketahui bahwa dalam pengurangan risiko bencana Indonesia sudah memiliki cara dalam mitigasi bencana. Hal ini terlihat dari keanekaragaman suku dan budaya yang disetiap wilayahnya memiliki keunikan dan kearifan lokal tersendiri dalam pengurangan risiko bencana.
Dalam hal pengurangan risiko bencana, selain menjadikan pengetahuan lokal sebagai bentuk penanggulangan bencana. Pengetahuan modern juga sangat penting untuk diterapkan dalam upaya pengurangan risiko bencana. Dalam pengetahuan modern untuk upaya pengurangan risiko bencana terdapat siklus manajemen bencana yang terdiri atas mitigasi atau pencegahan bencana, kesiapsiagaan, tanggapan darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Baik pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern harus saling bersinergi dalam penerapan pengurangan risiko bencana karna pada hakikatnya seluruh pengetahuan bersifat dinamis, terus berubah, berkembang dan beradaptasi karena respon masyarakat pada perubahan lingkungan.
Oleh karena itu untuk upaya pengurangan risiko bencana penting untuk memahami bagaimana pola pengetahuan masyarakat lokal terhadap suatu ancaman bencana dan bagaimana pola mereka dalam mengahadapi ancaman tersebut.
Pengurangan risiko bencana dapat kita lakukan dengan memanfaatkan modal kultur yang telah dimiliki oleh masyarakat lokal, untuk menghadapi setiap bencana dan pentingnya dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana.
***
*) Oleh : Halimah Tusya’diyah, S.Sos, Staf Divisi Penelitian dan Pengembangan Perkumpulan Qbar Indonesia Madani.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Internalisasi Pengetahuan Lokal dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |