TIMES KENDARI, JAKARTA – Dalam panggung besar transformasi dunia sepak bola, sedikit yang sefenomenal metamorfosis Ousmane Dembele, dari talenta penuh teka-teki menjadi finisher mematikan Paris Saint-Germain (PSG). 

Dulu, Dembele dikenal sebagai simbol potensi besar yang tak kunjung mekar. Namun kini, pemain Prancis berusia 27 tahun itu justru menjelma menjadi protagonis tak terduga dalam perjalanan PSG menuju final Liga Champions melawan Inter Milan di Munich, Sabtu (31/5/2025) waktu setempat atau Minggu dini hari WIB.

Kebangkitan Dembele dalam urusan mencetak gol menandai babak baru yang menarik dalam kariernya—karier yang sebelumnya lebih dikenal lewat kilatan-kilatan jenius yang sayangnya kerap terputus oleh inkonsistensi yang menjengkelkan.

"Hal terbaik yang saya lakukan adalah tidak memainkannya saat melawan Arsenal di London," ujar pelatih PSG, Luis Enrique, pada Februari lalu—sebuah pernyataan jujur yang terdengar seperti ungkapan dari orang tua yang menerapkan disiplin keras pada anak berbakat tapi bandel.

Absen singkat dari skuad saat bertandang ke Emirates itu, yang mungkin bisa mematahkan semangat pemain lain, justru menjadi titik balik Dembele. Dari seorang winger yang labil, ia bertransformasi menjadi mesin gol di lini tengah serangan PSG.

Statistiknya mencerminkan transformasi luar biasa: 32 gol dari 40 penampilan di semua kompetisi, termasuk 21 gol di Ligue 1—lebih banyak daripada gabungan lima musim sebelumnya.

Angka-angka di balik statistik itu bahkan lebih mencengangkan. Sebelum perubahan posisi, Dembele hanya mampu mengonversi 13,5 persen dari total tembakannya. Setelah berganti peran, angka itu melonjak jadi 26,7 persen—sebuah efisiensi yang bisa membuat para insinyur Jerman angkat topi.

"Main sebagai nomor 9 membuatku lebih dekat ke gawang," kata Dembele dengan tenang. "Begitu aku melewati satu pemain, aku langsung berhadapan dengan gawang, dan fokusku adalah menyelesaikan peluang."

Inilah Dembele versi 2.0—seorang pesepak bola yang seolah lahir kembali berkat sentuhan taktik. Kemampuannya mencetak gol dengan kedua kaki (8 gol kaki kanan, 10 kaki kiri) dan sundulan (2 gol) menjadikannya salah satu penyerang paling berbahaya saat ini.

Rekalibrasi taktik ala Luis Enrique—memposisikan Dembele lebih ke tengah dalam skema tekanan tinggi berbasis penguasaan bola—telah mengubah PSG dari kumpulan pemain bintang menjadi tim yang tampil harmonis bak orkestra.

Pendekatan ini sangat efektif di Liga Champions. Lawan-lawan mereka sering kali kewalahan oleh tekanan intens PSG, sebelum akhirnya dijebol oleh akurasi baru Dembele.

Kini, saat PSG bersiap menghadapi Inter Milan di final Liga Champions hari Sabtu, Dembele berdiri di persimpangan antara penebusan pribadi dan peluang mengukir kejayaan.

Dulu sering mengecewakan, kini ia menjadi andalan di lini depan klub yang sangat mendambakan trofi paling bergengsi di Eropa—untuk kedua kalinya dalam sejarah mereka.

Jika PSG berhasil mewujudkan mimpi mereka, nama Dembele hampir pasti masuk dalam pembicaraan Ballon d’Or—sebuah kebangkitan yang dimulai dari bangku cadangan dan berkembang menjadi kepercayaan diri seorang striker yang kini mencetak gol seakrab hujan di Paris pada bulan April.

Satu-satunya noda dalam performa terbarunya adalah laga final Piala Prancis akhir pekan lalu, di mana Dembele gagal mencetak gol dari empat peluang emas saat PSG menang 3-0 atas Stade de Reims. Namun, ia punya kesempatan untuk menebus itu semua di final Liga Champions. Ia bisa saja menjadi penentu kemenangan. (*)